Monday 17 June 2013

Mendengarkan Khotbah

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Hadirin sekalian kaum muslimin, pada pengajian yang mulia ini kami akan mencoba membahas tentang hidayah.
Latar belakang kami membahas masalah hidayah didorong oleh pertanyaan beberapa teman. Apa sebabnya pada akhir-akhir ini nampaknya da’wah Islam makin maju disana-sini? Bukan hanya di dalam negeri, tetapi di negera-negara yang dulu belum kenal Islam malah mengimpor mubaligh dari Indonesia. Apalagi di negeri kita sendiri yang penduduknya mayoritas beragama Islam. Tetapi kenyataannya setelah mereka makin dekat, makin tahu dan makin dalam menyelami isi Al-Qur’an, malah makin lari meninggalkan Al-Qur’an. Jawabannya ada dua. Yang pertama jawaban secara lahiriyah dan yang kedua jawaban secara hakiki. Mubaligh kurang bijaksana bila menjelaskan secara lahiriyah karena memerlukan penguraian secara ilmu yang ilmiah. Secara hakiki persoalan ini bermuara pada satu titik yaitu tergantung kepada apakah orang itu memperoleh hidayah atau tidak. Manakala seseorang memperoleh hidayah, sesungguhnya tidak ada alasan untuk hidupnya jauh dari agama. Dan sebaliknya apabila orang itu jauh dari hidayah, maka dengan sendirinya sekalipun Al-Qur’an pindah dari bibir ke kepalanya maka tidak akan jadi apa-apa.
Sebagian dari teman kita banyak yang tahu nama tetapi tidak kenal bentuk. Kebanyakan tahu pasti bahwa hidayah itu barang mulia, cahaya yang sungguh dibutuhkan oleh segala insan. Khususnya bagi kaum muslimin sekurang-kurangnya meminta diberi hidayah kepada Allah sehari semalam 17 kali. “Ihdinasyirotol mustaqim”, tunjukilah kami jalan yang lurus. Tetapi setelah Allah menunjukan, “Dzaa likal kitab”, itu dia kitab. “Laa roybafih”, tidak ada yang patut diragukan di dalamnya. “Hudallil muttaqin”, itu dia petunjuk yang engkau minta tiap hari.
            Hidayah itu artinya petunjuk. Namun klasifikasinya oleh para ahli, hidayah terbagi kepada 5 kategori. Semuanya dari Allah diperuntukkan bagi makhluk Allah. Yang pertama hidayatul ilham. Sebagian ahli mengatakan hidayatul ilham ini ekuivalen maknanya dengan hidayatul wijdan. Hidayah yang pertama ini dari Allah untuk semua makhluk Allah di dunia yang minta maupun yang tidak minta. Dari mulai tumbuhan, hewan sampai manusia perlu atau tidak perlu asalkan dia hidup, diberi hidayah yang pertama ini. Bila dilihat oleh mata telanjang, pohon-pohonan yang bergoyang disebabkan oleh tiupan angin. Tetapi pada hakekatnya, goyangnya pohon-pohonan bukan karena angin melainkan berdasarkan hidayah. Hidayah yang demikian tersebut adalah yang dinamakan hidayatul ilham yang diterima oleh tumbuhan. Bayi dalam kandungan setelah 4 bulan, dia mulai hidup. Diberi roh oleh Allah. Pergerakan bayi di dalam kandungan ibunya bukan karena didikan orang tuanya, melainkan pergerakan berdasarkan hidayah. Hidayah yang demikian disebut hidayatul ilham yang diterima oleh bayi dalam kandungan.
            Adapun cara Allah menganugerahkan hidayah itu tidak sekaligus, tetapi evolusif. Dikirimkan satu-persatu. Pertama dibukakan pintu untuk menerima hidayah yang pertama sesuai dengan perkambangan fisik dan psikis makhluk itu sendiri. Di dalam kandungan menerima hidayah ilham. Dia lahir ke dunia dilengkapi dengan berbagai macan panca indera. Kemudian dipersilakan oleh Allah untuk memasuki pintu yang kedua dalam rangka menerima hidayah yang kedua. Menjelang dia dewasa setelah berfungsi panca inderanya, barulah orang itu menerima hidayah nomor dua yang istilahnya disebut hidayatul hawas. Sebagian ahli tafsir menyebutnya hidayatul gharizah. Dilihat dari kata demi kata, hidayatul gharizah itu adalah petunjuk dari Allah yang diberikan kepada makhluk Allah, diterimanya berdasarkan bantuan panca indera yang dianugerahkan Allah. Dengan demikian, akal kita bisa mengira-ngira bahwa hidayah yang nomor dua ini hanya diberikan kepada makhluk Allah yang punya panca indera. Tidak terlalu salah jika hidayatul hawas ini maknanya sejajar dengan pengetahuan panca indera/knowledge. Dimana orang punya panca indera dan panca inderanya berfungsi, orang itu berhak untuk menerima hidayah nomor dua. Hidayatul hawas ini bisa pula diterima hewan. Merpati yang dimasukkan ke dalam kandang diberi makanan lalu ditutup. Ketika kandang dibuka, dia akan terbang jauh. Tetapi dia pasti akan kembali lagi ke kandangnya. Kembalinya merpati itu tidak melalui proses pendidikan yang formal, tetapi lewat pengetahuan panca inderanya.
            Setelah pintu yang kedua ini dilalui, dibukakan lagi pintu yang ketiga untuk dimasuki oleh makhluk Allah untuk menerima hidayah yang ketiga sesuai dengan perkembangan fisik dan psikis orang itu sendiri. Setelah manusia lahir dan layak menerima hidayah yang kedua dan menjelang dewasa hingga dewasa, maka pintu ketiga terbuka untuk menerima hidayah yang ketiga yang disebut hidayatul aqli. Hidayah artinya petunjuk, sedangkan aqli artinya akal. Hidayah yang ketiga ini hanya diperuntukkan bagi makhluk Allah yang namanya manusia. Disinilah orang dapat mengetahui sesuatu berkat bantuan akalnya sehingga pengetahuannya meningkat sedikit, dari pengalaman sampai kepada pengetahuan yang sistematik atau pengetahuan yang menggunakan metode ilmu. Hidayah ini terbatas. Tergantung pada kemampuan dia berpikir. Sekalipun orang itu dewasa menurut umur, manakala akalnya tidak terlatih, dia kurang berhak menerima hidayah nomor tiga. Sepanjang manusia bisa menggunakan akalnya, dia berhak menerima hidayah nomor tiga. Apakah akal itu? Sesungguhnya akal itu adalah ciri dari manusia. Selain dari manusia tidak diberi akal. Mengapa manusia diberi akal? Karena Allah akan menitipkan alam semesta kepada manusia. Bila ingin mengetahui akal, kita harus mengetahui formulanya. Sebab dalam diri manusia itu ada yang disebut potensi batin. Pada diri manusia itu ada kekuatan yang tersembunyi di dalam batin. Tidak banyak, hanya tiga. Yang pertama manusia memiliki rasa. Yang kedua manusia memiliki nafsu. Dan yang ketiga manusia mempunyai pikiran. Menurut ahli, potensi pikir dan rasa dikawinkan maka itulah yang disebut akal.
            Apakah kita sudah menerima hidayatul ilham? Sudah. Sebab tanpa diminta pun kita bisa menerima. Apakah kita sudah menerima hidayatul hawas? Sudah. Karena kita punya panca indera dan berfungsi. Apakah kita sudah menerima hidayatul aqli? Sudah. Karena kita hidup disertai dengan akal. Apakah kita sudah menerima hidayatul din? Sudah. Malah detik ini pun kita sedang membahas masalah agama. Yang terakhir, apakah kita sudah cocok hidupnya dengan agama? Belum. Karena kita belum menerima hidayah taufik. Hidayah nomor lima ini mutlak monopoli Allah SWT. Sangat sulit untuk mendapatkannya. Nabi SAW sebelum tabligh kepada kita, beliau tabligh kepada keluarganya. Beliau datang menghampiri istri dan anaknya. Semuanya tidak ada kesulitan. Lantas Nabi datang kepada pamannya sendiri, Abu Thalib. Beliau bertanya, “Apakah engkau masih cinta kepada kami?”. Abu Thalib menjawab, “Aku cinta kepadamu lebih daripada aku mencintai diriku sendiri.” Nabi Muhammad SAW bertanya lagi, “Apakah paman masih percaya kepada omongan kami?” “Wallohi Muhammad, aku percaya kepada omonganmu selalu. Jangankan engkau berbicara benar, salah pun aku tetap percaya yang keluar dari mulutmu”, jawab Abu Thalib. Lalu Nabi memberitahu bahwa dirinya telah menjadi utusan Allah. Menerima wahyu yang pertama di Gua Hira. Abu Thalib pun percaya. Tetapi ketika Nabi mengajak Abu Thalib untuk mengikrarkan dua kalimat syahadat, Abu Thalib menolaknya dengan alasan dapat mengerjakannya di kemudian hari. Padahal hatinya sudah mengakui bahwa Allah itu satu dan Muhammad sebagai utusan Allah. Berulang kali Nabi datang dan mengajak Abu Thalib untuk mengucap dua kalimat syahadat. Namun Abu Thalib masih menolak ajakan Nabi. Hingga akhirnya datang panggilan Allah kepada Abu Thalib untuk pulang menghadap kepada-Nya. Nabi Muhammad SAW ingin menggunakan momen psikologis pada saat yang paling akhir dan paling peka ingin dimanfaatkan supaya Abu Thalib mengucapkan syahadat. Namun Abu Thalib masih saja manolak. Abu Thalib menerima hidayatul ilham, menerima hidayatul hawas, menerima hidayatul aqli, menerima hidayatul din tetapi dia tidak menerima hidayah taufik.
            Akhirnya Rasulullah SAW usul kepada Allah untuk memberikan kelunakkan hati kepada Abu Thalib supaya dia menjadi seorang muslim. Rasulullah SAW berkata, “Ya Allah, apakah paman kami tidak punya hati dengan teman-temannya?” Jawaban Allah sifatnya universal, “Mereka (bukan Abu Thalib saja) punya hati, tetapi hatinya sudah tidak mampu memilih mana benar dan mana salah. Mereka pun punya telinga, tetapi telinganya sudah tidak mampu mendengarkan barang benar. Mereka pun punya mata, tetapi matanya sudah tidak mampu melihat barang benar. Pamanmu tidak mau memfungsikan panca inderanya.” Rasulullah datang lagi kepada pamannya dan kembali mengajak pamannya untuk mengucapkan syahadat, tetapi Abu Thalib tetap menolaknya. Nabi usul lagi kepada Allah, “Kenapa Ya Allah sekeras itu hati paman kami?” Lalu Allah menjawab, “Muhammad, Kami mengutusmu ke bumi ini tidak disuruh untuk mengetuk jantung hati setiap insan. Itu bukan wewenangmu, sekalipun kepada orang yang engkau cintai. Kami utus engkau ke dunia tidak disuruh mengetuk jantung hatinya, melainkan tugas engkau itu cukup tunjukkan saja jalan ke neraka dan jalan ke surga. Tunjukkan yang menakutkan dan tunjukkan yang menggembirakan. Dengan akalnya manusia bisa memilih. Itu tugasmu. Cukup engkau telah bertabligh kepada pamanmu.” Rasulullah kembali bertanya, “Siapa saja Ya Allah yang akan dilunakkan hatinya dan oleh siapa?” Allah menjawab, “Siapa saja yang Kami sukai, dan akan ditiupkan oleh Kami sendiri. Engkau tidak perlu tahu siapa saja yang Kami kehendaki.” Barulah Nabi Muhammad SAW gembira karena tugasnya hanya untuk menyampaikan hidayah din dan mendewasakan hidayah akal serta memupuk hidayah hawas dan hidayah ilham. Hidayah yang satu sampai empat itu adalah dari Allah, tetapi disampaikannya lewat kemampuan manusia. Yang terakhir dan yang paling mahal itu adalah wewenang Allah SWT. Lalu Abu Thalib meninggal dunia. Dia tidak dicatat dalam sejarah sebagai paman Nabi yang bisa mengucapkan dua kalimat syahadat.

            Adapun taufik itu murahnya kepada siapa saja, tanpa kecuali. Asal orang itu mau menggunakan potensi batinnya untuk menerima sesuatu. Dan hidayah itu ada kalanya datangnya kepada manusia seperti kapuk terbang terbawa angin. Dimana angin berhenti, kapuk jatuh. Dimana kapuk jatuh, siapa saja yang lewat dia singgah.

No comments:

Post a Comment